JAYAPURA – Kebijakan percepatan pembangunan di Tanah Papua kini berada di persimpangan jalan antara target swasembada nasional dan perlindungan hak masyarakat adat.
Di satu sisi, Pemerintah Pusat menegaskan komitmen transformasi ekonomi melalui ketahanan pangan dan energi. Di sisi lain, aktivis lingkungan memperingatkan risiko deforestasi besar-besaran yang mengancam ruang hidup warga lokal.
*Visi Pemerintah: Transformasi dan Kemandirian*
Presiden Prabowo Subianto, dalam arahannya kepada para kepala daerah se-Papua di Istana Negara (16/12), menekankan bahwa pangan adalah dasar utama transformasi bangsa.
Presiden menggarisbawahi pentingnya Papua menjadi lumbung pangan dan energi guna memutus ketergantungan logistik dari luar pulau.
"Kita harus menjamin produksi pangan kita sendiri. Tidak hanya pangan secara nasional, kita harus swasembada secara provinsi, bahkan bila perlu secara kabupaten kita harus swasembada," ujar Presiden Prabowo seperti dikutip dalam kanal YouTube KOMPASTV, Selasa (16/12).
Pemerintah memproyeksikan pengembangan komoditas seperti kelapa sawit, tebu untuk etanol, dan singkong sebagai pilar swasembada energi, sembari mempercepat pembangunan infrastruktur melalui Jalan Trans Papua.
Kritik WALHI: Ancaman Komersialisasi Hutan Adat
Menanggapi rencana tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua menyatakan kekhawatiran serius.
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua, Maikel Peuki, menilai model pembangunan yang mengedepankan monokultur skala besar justru berisiko memicu bencana ekologis dan konflik agraria.
“Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Papua belum menghargai, menghormati dan mengakui masyarakat adat Papua sebagai pemilik tanah dan hutan adat Papua,” tegas Maikel Peuki dalam Siaran Pers WALHI Papua yang dikutip media ini, Rabu (17/12/2025).
WALHI Papua menyoroti bahwa kebijakan swasembada yang dirancang cenderung menguatkan dominasi korporasi, bukan berbasis pada kearifan lokal.
Maikel juga mengingatkan bahwa pembukaan hutan skala besar dapat menghancurkan sistem pangan tradisional masyarakat yang bertumpu pada sagu dan hasil hutan.
“Kami WALHI Papua menolak segala bentuk deforestasi pembukaan hutan adat di Papua dengan skala besar. Masyarakat adat Papua tidak mau mendapat bencana ekologis yang akan datang. Papua bukan tanah kosong, Papua tolak deforestasi, Papua tolak PSN,” sambung Maikel.
WALHI Papua juga menolak deforestasi dan menuntut penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan tanpa paksaan di awal dari masyarakat adat.
Dalam laporan publikasinya, WALHI Papua mendesak pemerintah untuk lebih menghargai status Otonomi Khusus (Otsus) dengan melibatkan masyarakat adat secara informatif sebelum keputusan besar diambil.
Sementara itu, Presiden Prabowo telah menginstruksikan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otsus Papua untuk memastikan anggaran tepat sasaran dan langsung dirasakan oleh rakyat di kampung-kampung.
Pemerintah juga berencana mengalokasikan dana besar untuk program makan bergizi gratis dan pembangunan Satuan Pelayanan Pangan Gizi (SPPG) di seluruh Papua sebagai bagian dari intervensi kesejahteraan langsung. (Redaksi/ITH)
Tag Terpopuler
Antara Swasembada dan Hak Adat
ITH
Rabu, 17 Desember 2025 | Desember 17, 2025 WIB |
0 Views
Last Updated
2025-12-18T02:13:32Z
Ilustrasi Swasembada (Foto: ITH)