Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Menuju Terapi Intravena Yang Lebih Aman di Indonesia

Jumat, 10 Oktober 2025 | Oktober 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-10T01:42:41Z

Hari Nurcahyo, Country Business Director Becton Dickinson (BD) Indonesia dalam acara vein Heroes Jamboree di BSD City, Tangerang beberapa waktu lalu

TERKINI.ASIA – Terapi intravena (IV) merupakan prosedur medis penting yang setiap hari menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia. Namun, di Indonesia, tantangan terkait keselamatan pasien masih menjadi perhatian serius yang membutuhkan penanganan bersama.

Pada April 2025, kasus seorang anak kecil di Nusa Tenggara Barat yang mengalami komplikasi akibat infus menjadi pengingat penting bahwa keselamatan pasien harus selalu menjadi prioritas utama. Insiden ini memicu urgensi baru untuk meningkatkan kesadaran sekaligus mendorong kolaborasi lintas pemangku kepentingan.

Hari Nurcahyo, Country Business Director Becton Dickinson (BD) Indonesia—perusahaan teknologi medis global—menekankan perlunya kerja sama erat antara regulator, industri, dan tenaga kesehatan. Kolaborasi ini akan membantu Indonesia mengadopsi praktik terbaik dalam terapi IV, sehingga keselamatan pasien tetap terjaga sebagai prioritas utama.

Beralih ke Material Kateter yang Lebih Modern

Menurut Hari, sebagian besar prosedur IV di Indonesia masih menggunakan kateter berbahan dasar teflon material yang sudah dipakai selama puluhan tahun di seluruh dunia Padahal, saat ini telah tersedia alternatif yang lebih maju, seperti polyurethane dan BD Vialon™ Material dari BD, yang lebih biokompatibel, fleksibel, dan dirancang untuk mengurangi risiko komplikasi.

Ia menambahkan, penggunaan material lama masih dipengaruhi bukan hanya oleh faktor biaya, tetapi juga regulasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi tantangan tersendiri. “Dalam regulasi TKDN, mayoritas masih menggunakan teflon. Angkanya lebih dari 65 persen,” jelasnya.


Mengurangi Risiko dan Biaya Jangka Panjang

Pemilihan material kateter bukan sekadar soal performa—melainkan berdampak langsung pada keselamatan pasien. Hari menyoroti tingginya tingkat flebitis, yaitu peradangan vena yang menyakitkan dan berpotensi serius, yang lebih sering terjadi pada kateter teflon yang kaku.

“Dengan teflon, risiko flebitis cukup tinggi. Dengan material yang lebih aman, risiko itu bisa ditekan hingga 30–50 persen,” ujarnya.

Hari menjelaskan, kateter IV sebagai benda asing yang dimasukkan ke dalam aliran darah dapat memicu respons imun dan peradangan. Material yang lebih fleksibel mampu mengikuti anatomi dan pergerakan alami vena, sehingga mengurangi iritasi, rasa tidak nyaman pada pasien, serta risiko flebitis dan komplikasi lain. Komplikasi juga berarti munculnya biaya tersembunyi. Karena itu, Hari menekankan pentingnya melihat dampak jangka panjang, bukan hanya biaya awal.

“Meski harga sebuah kateter mungkin lebih murah, bila harus sering diganti dibanding kateter dengan harga lebih tinggi, maka efisiensi biaya tidak tercapai dan justru menimbulkan biaya berlipat,” paparnya.

Pentingnya Standar Nasional dan Edukasi

Hari menegaskan bahwa pasien kritis di unit perawatan intensif (ICU) membutuhkan kateter berkualitas tinggi dengan daya tahan lebih lama, sehingga mengurangi kebutuhan pemasangan ulang. Sementara di departemen lain yang hanya memerlukan terapi IV jangka pendek, teknologi lama mungkin masih dapat digunakan dengan risiko relatif rendah.

“Karena itu, untuk pasien berisiko tinggi, lebih tepat menggunakan teknologi yang lebih maju agar hasil klinis lebih baik,” tegasnya.

Standar semacam ini akan memastikan terapi IV tidak diterapkan secara seragam, melainkan disesuaikan dengan kapasitas dan konteks masing-masing fasilitas layanan kesehatan—baik klinik, puskesmas, maupun rumah sakit.

Kolaborasi Menuju Masa Depan yang Lebih Aman

Untuk mewujudkan solusi yang lebih aman, efisien, dan berkelanjutan, sektor swasta perlu berkolaborasi dengan pemerintah, regulator, serta tenaga kesehatan dalam mendukung transformasi layanan kesehatan di Indonesia.

“Tujuan kami adalah sistem kesehatan yang lebih aman dan efisien. Kita perlu bekerja sama dengan pembuat kebijakan agar regulasi benar-benar mengutamakan keselamatan pasien, sekaligus membantu fasilitas kesehatan memahami implikasi biaya yang sebenarnya,” jelas Hari.

Hari tetap optimistis bahwa dengan pendekatan berbasis risiko dan konsep 3P—Policy (regulasi yang tepat), Practice (pelatihan yang konsisten), dan Product (penggunaan teknologi yang sesuai)—Indonesia dapat mulai memodernisasi standar terapi IV secara bertahap, berkelanjutan, dan kolaboratif. (Rilis)

×
Berita Terbaru Update